Perjuangan
perempuan Indonesia untuk tidak dipandang sebelah mata sebenarnya sudah dimulai
sejak masa penjajahan Belanda di Bumi Nusantara.
Contohnya
adalah perjuangan yang dirintis tiga putri Bupati Jepara, Raden Mas Ario
Adipati Sosroningrat, yakni Kartini, Kardinah dan Roekmini pada awal abad
ke-20.
Dalam
keluarga tersebut, Kartini merupakan anak nomor lima dari 11 bersaudara yang
terdiri dari saudara kandung dan tiri.
Dari
semua saudara kandung, Kartini adalah anak perempuan tertua, sedangkan Kardinah
lebih muda dua tahun darinya.
Baik
Kartini dan Kardinah lahir dari pernikahan sang ayah dengan Mas Ajeng Ngasirah.
Sementara Roekmini merupakan adik tiri.
Kartini
yang lahir dari pernikahan Raden Mas Ario Adipati Sosroningrat dengan Raden Ayu
Moerjam.
Meski
berbeda ibu, ketiganya memiliki hubungan sangat dekat. Seorang pegawai
administrasi kolonial Hindia Belanda di Jawa Tengah kala itu menjuluki mereka
“Tiga Bersaudara”.
Akan
tetapi, Kartini lebih suka menyebut hubungan saudara itu sebagai “Het
Klaverblad” atau Daun Semanggi.
Alasannya
sederhana. Putri tertua Bupati Jepara ini menyukai pecel daun semanggi, ia
begitu dekat dengan daun semanggi.
Kemudian,
secara filosofis, daun semanggi ternyata merupakan simbol persatuan, sama
seperti daun semanggi, ketiga saudara itu pun bersatu padu untuk mendobrak
tradisi Tanah Jawa yang menempatkan perempuan sebagai makhluk nomor dua dan
dipandang rendah.
Hal
itu mereka lakukan agar kaum perempuan dapat memiliki kesetaraan hak dan
derajat dengan laki-laki.
Caranya
melalui bidang pendidikan. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah dengan
diam-diam belajar dari bilik kamar sederhana.
Cara
tersebut mereka ambil karena ketiga putri bangsawan ini harus menjalani
pingitan di usia remaja, sampai ada laki-laki yang meminang mereka sebagai
istri pertama, atau kedua, dan seterusnya.
Enam
tahun selama pingitan, ketiganya membangun dunia mereka sendiri dengan beragam
aktivitas, mulai dari membaca beragam buku berbahasa Belanda, melukis,
membatik, hingga bermain alat musik bersama.
Lewat
buku, wawasan ketiganya bertambah. Mereka yang kala itu masih berusia belasan
tahun, pun jadi memiliki cita-cita tinggi.
Mereka
kerap berdiskusi tentang keinginan menjadi dokter, pelukis, bidan, dan guru.
Setelah
masa pingitan usai, ketiga daun semanggi ini diberi kebebasan sang ayah untuk
membuka sekolah bagi rakyat kecil di Pendopo Kabupaten Jepara.
Sejak
saat itu, Kartini bersama dua adiknya mulai mengajarkan pendidikan kepada
rakyat kecil, terutama perempuan, untuk menulis, membaca, membatik, dan
keterampilan lainnya.
Tiga saudara diguncang kepedihan. hari demi
hari, usia mereka pun bertambah, hingga datanglah seorang putra dari Bupati
Tegal Pangeran Ario Reksonegoro, yakni Raden Mas Haryono yang ingin meminang
Kardinah.
Lamaran
tersebut tak hanya mengguncang batin Kardinah, tetapi juga Kartini dan
Roekmini. Bagaimana tidak, diboyongnya Kardinah ke Pemalang membuat sebagian
cita-cita mereka ikut runtuh.
Kartini
mengatakan, kepergian adiknya merupakan sebuah kehilangan besar. “Tidak salah
jika orang mengatakan kami bertiga telah menjadi satu pikiran dan perasaan,”
tulisnya dalam surat kepada sahabat karibnya, yaitu istri ajudan Gubernur
Jenderal Rooseboom, Hilda de Booy-Boissevain pada 21 Maret 1902.
Setahun
setelah Kardinah menikah, giliran Kartini menyusul menjadi seorang raden ayu.
Ia dipersunting Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat pada 12 November
1903.
Sebagai
informasi, ketika perempuan bangsawan Jawa menikah, gelar yang semula sebagai
raden ajeng akan berubah menjadi raden ayu.
Dari
pernikahannya, Kartini melahirkan anak laki-laki bernama Soesalit
Djojoadhiningrat pada 13 September 1904.
Empat
hari pasca-melahirkan, Kartini meninggal dunia di usia yang ke-25 pada 17
September 1904, dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang, Jawa Tengah.
Kematian
Kartini membuat Roekmini dan Kardinah sangat terpukul. Mereka kehilangan sosok
seorang kakak yang memperjuangkan kesetaraan perempuan.
"Saya
seperti gila ketika mengetahui hal itu," tulis Roekmini dalam suratnya
kepada salah satu sahabat pena Kartini, Menteri Kebudayaan, Agama, dan
Kerajinan Hindia Belanda (1900-1905) Jacques Henrij Abendanon pada Oktober 1904.
Tak
lama setelah ditinggal sang kakak, ayah mereka menyusul meninggal dunia pada 21
Januari 1905.
Kepergian
Bupati Jepara ini berpengaruh besar pada sekolah yang dibangun tiga bersaudara
tersebut.
Sekolah
mereka dibubarkan karena murid-muridnya yang rata-rata sudah berusia di atas 12
tahun, tidak diperbolehkan datang lagi.
Mereka
sudah dianggap pantas dan dewasa oleh orangtuanya serta siap untuk dinikahkan,
hal tersebut diungkap Roekmini kepada Abendanon pada 14 November 1905.
Belum
lagi ditambah gunjingan dari kerabat sang ayah yang membuat hidup mereka kian
susah.
Hal
ini menjadi alasan ibu Roekmini, Moerjam, tidak memperbolehkan putri-putrinya
terlalu sering ke luar rumah.
Meneruskan
kembali perjuangan yang tertunda nyatanya, impian mereka lebih besar dari
sebuah gunjingan.
Semangat
Kardinah dan Roekmini memperjuangkan kesetaraan perempuan pun tak pernah padam,
meski Kartini dan sang ayah telah tiada.
Kardinah
yang saat itu pindah mengikuti suaminya, Ario Reksonegoro X sebagai Bupati
Tegal, kembali meneruskan perjuangan yang pernah ia lakukan bersama dua
saudarinya.
Selain
mendidik anak-anaknya, Kardinah juga membangun sekolah kecil karena tidak puas
dengan sistem pengajaran di sekolah milik Belanda.
Saat
itu, pemerintah Hindia Belanda hanya memperbolehkan keluarga bangsawan atau
kalangan atas untuk bersekolah.
Itu
pun hanya dikhususkan untuk laki-laki saja.
Dengan
semangat yang berkobar dan dukungan dari suaminya, Kardinah resmi mendirikan
Sekolah Kepandaian Putri Wisma Pranowo pada 1 Maret 1916.
Sistem
pengajaran yang ia gunakan sama seperti sekolah Kartini dulu, yaitu khusus
mengajarkan keterampilan bagi perempuan.
Upaya
Kardinah untuk memperjuangkan nasib rakyat tidak berhenti sampai di situ, Ia
mulai merambah dunia kesehatan dengan membangun rumah sakit yang diberi nama
Kardinah Ziekenhuis pada 1927.
Tujuan
pendirian rumah sakit ini adalah memberikan layanan kesehatan memadai bagi
rakyat kecil di Tegal kala itu, khususnya perempuan yang hendak bersalin.
Sama seperti pembangunan sekolahnya, ia mendirikan rumah sakit dari hasil jerih payah menjual karya tulisan dalam bentuk buku.
Pada 1969, pemerintah pun mengakui jasa-jasa besar Kardinah dengan menganugerahkan Lencana Kebaktian Sosial Republik Indonesia.
Tak
kalah dengan Kardinah, Roekmini ikut membuka sekolah vokasional atau kejuruan
di Kudus, Jawa Tengah.
Sekolah
yang dibangun Roekmini lahir dari kegemarannya membuat kerajinan kayu dan
melukis.
Karena
kegemaran itu pula, ia lebih menyukai pengajaran yang bersifat praktik daripada
konsep atau teori.
Bukan
hanya itu, Roekmini juga lebih memilih memperjuangkan hak kaum perempuan
melalui keikutsertaannya sebagai anggota berbagai organisasi.
Terbukti,
ia sangat aktif dalam beberapa organisasi dan komunitas. Salah satunya adalah
Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht (VVV).
Ia
bergabung dengan organisasi yang menggencarkan kampanye hak pilih bagi
perempuan tersebut pada Juli 1927.
Adik
kesayangan Kartini ini turut dalam pengajuan proposal pendirian cabang VVV di
Kudus pada 1928 dengan menggunakan nama “Mardi Kamoeljan”.
Roekmini
berharap, pendirian Mardi Kamoeljan dapat meningkatkan pola pikir perempuan
lokal sehingga bisa maju seperti perempuan Eropa.
Utamanya,
pola pikir yang maju dan lebih sigap dalam mengatasi permasalahan di bidang
kesehatan, pertolongan pertama, dan perawatan anak.
Pada
Desember 1928, Roekmini juga bergabung dengan delegasi perempuan Indonesia
pertama dalam pergerakan internasional, yaitu Kongres Perempuan Indonesia di
Yogyakarta.
Bahkan, Roekmini dipilih menjadi perwakilan
Indonesia untuk Kongres Perempuan Asia di Lahore, Pakistan pada Januari 1931.
Perjuangan
Kardinah dan Roekmini tersebut merupakan kelanjutan cita-cita emansipasi
perempuan yang diembuskan Kartini.
Perjuangan
ketiganya juga menjadi bukti bahwa perempuan Indonesia memiliki daya untuk
terus maju, meski dalam keterbatasan.
Semoga
semangat perjuangan ketiga srikandi tersebut dapat menginspirasi banyak
perempuan di Indonesia.
Dapat
melahirkan Daun Semanggi baru di daerah lainnya yang menjunjung tinggi martabat
kaum perempuan karena kesetaraan adalah salah satu bentuk pengamalan Pancasila.