"Pengecut terbesar adalah pria yang
membangunkan cinta seorang wanita tanpa bermaksud untuk balas mencintainya".
Bob Marley
Kusebut ia
dengan Delima. Sebuah nama yang ingin penulis narasikan sebagai pemilik rasa
cinta. Sesekali perasaan di hatinya seperti kemarau. Ia butuh mata air
untuk mengobati dahaga yang gersang. Delima menganggap cinta sebagai
angin paling risau. Ia datang menembus sukma dan pergi dengan sayap-sayap
kenangan.
Hikayat rasa
berjejer pada beranda hati si gadis bernama Delima. Mencintai tidaklah
mudah, ia perlu belajar mengeja rindu yang terkadang berontak tanpa
jemu. Masa muda merupakaan penciptaan paling elok dari sketsa cinta. Cinta bak
matahari yang hinggap di orbit hati.
Pena ini
hanya untaian rasa dari frasa memori tentang sebuah sajak rasa dari takdir sang
Delima. Kerinduannya pada lelaki yang dicintainya adalah bara yang sulit di
eja, apalagi jika rindu bertepuk sebelah tangan. Hatinya terlalu lemah karena
mengemis rasa yang tak pernah memudar. Rasa sesak yang menyakitakan, selalu
terjaga dalam sirkuit ingatannya.
Semua punya
kisah tentang rasa cinta. Mencintai yang saling berbalas adalah oase paling
indah. Aku ingin menarik benang memori tentang cinta sang Delima yang tak
berbukit. Sebuah rasa yang menumpuk dalam hatinya, tak pernah berbalas dari
lelaki yang dicintainya. Ia mengenal
seorang lelaki yang ia pikir, saat itu
teman laki-lakinya adalah satu-satunya Adam di muka bumi. Rasa kagum,
suka, dan cinta bertumpuk jadi satu. Semua angan Delima hanya tentang dia.
Bayangan wajahnya membangunkan larik paling epik. Ya, itulah rasa pada cinta
pertama bagi sang Delima.
Lelaki itu datang kepada Delima dengan sebuah isarat
rasa, yang ia jabarkan sebagai rasa
cinta. Segala pengorbanan dilakukan Delima sebagai pembuktian atas rasa cinta.
4 tahun mempertahakan makna agar rasa tetap asri. Sebuah kedekatan yang tanpa
komitmen menghadirkan kegundahan yang tak pasti. Bersama tapi samar, saling cinta tapi tak berucap. Hingga
sampai pada pucuk ratapan, sebuah pertemuan dengan orang ketiga.
Waktu itu, Delima
berkumpul dalam suatu wadah ikatan mahasiswa di Kampusnya. Sebuah organisasi yang kemudian mengadakan pertemuan di Puncak Cigamea. Di
situ Delima seperti dipanah racun paling menusuk. Mendapati orang yang paling di
kaguminya dekat dengan temannya. Derai air mata bercucuran dari mega hitam
kelopak mata sang Delima. Ingin marah tapi tak pasti, ingin teriak tapi tak
berhasrat. Hingga ia berlari dari puncak
dengan kepala paling nanar.
Sepanjang
perjalanan di mobil, Delima tak bisa menyeka air mata yang lupa cara mereda.
Sesak dan sakit di hatinya adalah gelembung rasa paling koyak. Seminggu bahkan
sebulan tak bisa lepas dari rasa cemburu paling buta. Hingga sampai pada pucuk
waktu, takdir mempertemukan Delima dengan cinta sejatinya.
Waktu
berjalan meninggalkan jejak luka dari hati sang Delima. Ia mencoba melepas
ingtn tentang sebuah pepisahan yang tanpa permisi. Ia mencoba menepis episode
merindu. Meski binar di matanya menguap pada pucuk kesediha, serta hatinya yang
terjermbab pada rindu yang tak tahu cara berteduh. Jika bisa Delima berteriak
maka mungkin ia melangitkan kata “I Wanna meet You”, tapi rasa itu semakin
melangit semakin sesak dirasakan.
Hingga pada
sudut waktu, Delima benar-benar tersadar jika cinta tak harus memiliki. Seperti
pepatahnya Fierra Besari “Beberapa rindu memang harus
sembunyi-sembunyi. Bukan untuk disampaikan, hanya untuk dikirimkan lewat
doa". Melupakan larik rasa cinta
adalah keberanian yang paling elegan.
Sebuah
pertemuan yang tanpa sengaja, tetapi menepi pada guratan takdir yang sempurna.
Hari itu, Delima bertemu dengan cinta
sejatinya atas urusan pekerjaan. Mereka bertemu dengan awalan komunikasi yang
sederhana. Tak ada rasa, semua normal dan biasa. Namun, di hari pertemuan itu
tanpa sengaja Delima diantarkan pulang oleh
si calon jodohnya. Kebetulan lelaki itu
harus bertemu rekannya yang sekampung dengan Delima. Dari pertemuan itu mereka
bertukar nomor Hp, dan kemudian saling bertukar cerita. Pertemuan yang
tanpa sengaja kemudian menciptakan sebuah kedekatan yang mengundang rasa
nyaman.
Sampai pada
episode dimana lelaki itu memberikan
ketegasan untuk sebuah keseriusan. Namun Delima selalu belajar dari pengalaman.
Belajar untuk tak terlalu memberi harapan agar tak larut pada kecewa yang
dalam. Kali itu perjalanannya seperti roda di arena balapan. Semakin Delima
berlari cinta sejatinya semakin mengejar, semakin ia menjauh cinta sejatinya
semakin mendekat hingga sampai pada garis waktu, lelaki itu meminang Delima
dengan Syahadat. Itulah suami Delima sebagai cinta sejatinya. Begitulah
cinta sejati datang tanpa prediksi, meski berusaha berlari ia tetap datang
menghampiri. Tak perlu mengukir kisah ribuan hari, tanpa ujung yang pasti.
Cinta sejati pasti datang dengan cepat memberi kepastian yang hakiki.
Jodoh itu
terlalu sederhana, ia hanya menunggu kapan waktu berpihak padanya. Yang harus
kita sadari hanyalah kebesaran hati atas rasa kecewa, cemburu buta, dan merasa
diri tak beruntung. Seperti Hadist Shahih AL-Hakim "Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Apabila datang
kepada kalian siapa yang kalian ridhai akhlak dan agama nya, maka nikahkanlah
ia. Jika tidak kalian lakukan, niscaya akan menjadi fitnah dan muka bumi dan
kerusakan yang luas.” (HR. Al-Hakim – sanadnya shahih).
Hidup itu
sudah di atur oleh Sang Penulis Takdir. Tak perlu tergesa dan terlena untuk
segala rasa. Karena berharap pada manusia adalah duri paling pahit. Berserah
diri pada Ilahi adalah langkah pasti dari kecewa paling gulita. Belajarlah
mencintai sewajarnya, karena Tuhan adalah yang paling berhak untuk cemburu.
Ketika kita terlalu mencintai manusia, mencintai dunia, maka Tuhan akan menguji
kita dengan menjauhkannya.
Lebak, 6 Oktober 2021
Maydearly
Keren bu May. Diksix bagus bangett
BalasHapusSuka banget bacanya,Bu May...salut!
BalasHapusKeren bingitz
BalasHapusPuitis laksana pujangga . Sekelas Kahlil Gibran
BalasHapusHidup itu sudah di atur oleh Sang Penulis Takdir. Tak perlu tergesa dan terlena untuk segala rasa. Karena berharap pada manusia adalah duri paling pahit. Berserah diri pada Ilahi adalah langkah pasti dari kecewa paling gulita. Belajarlah mencintai sewajarnya, karena Tuhan adalah yang paling berhak untuk cemburu. Ketika kita terlalu mencintai manusia, mencintai dunia, maka Tuhan akan menguji kita dengan menjauhkannya.
BalasHapusSaya kutip untuk dijadikan pengingat.
Bagus sekali tulisannya.
BalasHapus