“Penulis perjalanan berkelana ke
tempat-tempat yang jarang terjamah, melukis nuansa dalam tulisan” Agustinus Wibowo
Mengepakan sayap-sayap kata bak berdiri di bawah lengkungan
pelangi. Siluet warna Mejikuhibiniu seakan menerbangkan asa jika setiap
manusia mampu berkelana menuju sudut dunia. Pula, yang paling ku sukai dari
pelangi adalah jingga yang mampu memendarkan cahaya terang menuju senja gulita.
Aku ingin memulai narasi ini dari sang senja. Setiap senja
memberiku ruang untuk menggerakan pena, melangitkan sebuah tulisan, membingkai
cerita tentang sajak kehidupan. Dari aku si fakir ilmu yang tertatih membangun
nama lewat sebuah tulisan, banyak yang ingin ku beritahu jika hidupku terlalu
biasa untuk dinarasikan. Namun, sebuah pena membawaku berkelana pada beberapa
sudut Negeri.
Dulu, aku tumbuh sebagai sorang gadis yang hobi menulis diary,
menulis surat, dan membaca novel. Setiap surat balasan dari sang pacar, ku baca
berulang hingga hafal betul semua kata dan ejaannya. Naik satu level menjadi
seorang mahasiswa, membawa penaku pada dunia karya ilmiah. Aku pun terus
menulis, menulis, dan menulis.
Kemudian, ruang waktu menarikku pada sebuah pelatihan kelas menulis
asuhan Omjay. Kelas pelatihan itu, benar-benar membidik penaku untuk lebih
tangkas dalam mengurai cerita, lebih cerdas dalam merangkai kata. Wadah pelatihan
tersebut benar-benar mengajariku from Zero to Expert. Hingga aku
benar-benar terlampau percaya diri dalam menciptakan sebuah tulisan. Rasa bangga
bertumpuk pada sudut hati, sebuah karya pertama terlahir memberikan penegasan
menuju suatu titik bernama Sang Penulis.
Aku terus belajar menulis notasi nada, merangkai kata demi kata
hingga ia terukir berdesakan. Mencipta sebuah riak cerita untuk ku sampaikan
pada pembaca. Bermula dari melambungkan tulisan lewat sebuah blog, kemudian ia mengembara menjadi sebuah jejak
pena dalam sebuah properti berupa buku. Buku pertama “Trik Jitu Menjadi
Penulis Milenial” membuka ruang baru dalam hidupku, memberikan jejak nama
jika aku pernah hidup dalam pusaran waktu.
Tulisan demi tulisan membawaku pada sebuah panggung kehormatan. Panggung
seorang narasumber, pula panggung seorang penulis. Hal itu bukan cita-citaku,
sedari dulu menjadi penulis bukan gerbang tujuan dari hidupku. Tapi sebuah
takdir menjemputku menuju puncak yang elegan.
Rasa tak percaya sedikit mengusik beranda hati, menciptakan sebuah rasa
ragu antara bermimpi atau tidak. Ternyata sebuah kenyataan membangunkanku dari
alam mimpi. Bukan ilusi atau hayalan, aku terbang terlampau jauh menyebrangi Sabang
hingga Merauke, lewat sebuah tulisan yang dikemas dalam buku.
Suka dan duka kemudian datang, menjadi seseorang yang dipandang
hebat oleh orang lain, terkadang membuat hati ini begitu lemah, kecil perasaan
dan bahkan kadang-kadang hilang kepercayaan diri. Aku lebih terbiasa menumpuk
sesak duri kehidupan, daripada hidup melambung tinggi dengan segudang tuntutan.
Namun, sang waktu terus memberiku hadiah demi hadiah agar berani untuk hidup
atas segala tantangan.
Satu hal yang harus dikuatkan jika selama hidup kita hanya belajar di
Univrsitas Kehidupan, dengan sebuah izazah berupa Batu Nisan. Maka perlu kita
kaji diri untuk terus memperbaiki segala hal. “Jika semakin meninggi maka merendahlah
serendahnya, karena sumbu paling dalam dari bumi adalah intan dan berlian,
berkilau nan elegan” Maydearly.
Akhirnya, dengan keinginan untuk terus maju, maka sederet lara tak
menjadi halangan untuk terus menciptakan sebuah karya. Sang waktu pernah
membawaku pada ruang dilema. Ghiroh sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu,
dan sebagai seorang anak yang harus mengurus orangtuanya yang sedang sakit, tak
membuatku surut untuk terus menulis. Pola atur waktu yang baik, mengantarku
sampai ke puncak. Yaitu sebuah puncak karya yang berjudul “Episode 1 Januari
2020 dalam Kenangan”. Sebuah buku yang kutulis selama 20 hari sembari
merawat orangtua.
Buku tersebut merupakan buku yang paling berkesan, karena ia
benar-benar membawaku berkelana menuju Sabang Hingga Merauke. Penjualan yang begitu
laku keras, terjual 40 buku dalam 5 hari dengan track terbang; Aceh,
Muara Sijunjung, Samarinda, Jogjakarta, Surabaya, Sukambumi, Karawang, Jakarta,
Kalsel, Banten, dan sekitarnya. Ada haru yang begitu lekat. Buku itu adalah
hadiah dari kesabaran dalam mengurus keluarga.
Yang paling sulit dalam menerbitkan buku, adalah menjaga komitmen
untuk terus menulis. konsistensi yang dangkal terkadang mengubur kemauan untuk
terus maju mengepakan sayap. Yakinlah, setiap tulisan akan menemukan pembacanya
seperti istilah tak ada pembeli jika tak ada penjual. Tak perlu berambisi untuk
menjadi siapa, yang harus ditanamkan adalah terus memupuk keinginan untuk terus
menulis. Make sure writing as your passion karena menulis adalah
menciptakan taman pengetahuan. Memberi kenangan untuk dihadiahkan pada generasi
berikutnya.
Memperbaiki kualitas diri adalah dengan menulis, mengaktualisasi
pengetahuan harus dengan menulis. menulislah sebagai harga mati. Sampai ia
berkelana hingga ujung dunia. Sebagaimana hadis shahih menjelaskan jika menulis
merupakan bagian dari mengamalkan ilmu.
إذا سمعت شيئا فاكتبه ولو في الحائط
“Apabila engkau mendengar
sesuatu (dari ilmu) maka tulislah walaupun di atas tembok.” (HR. Abu Khaitsamah dalam Al-Ilmu no.146).
Menulislah seperti
embun yang ketika jatuh ke bumi membawa pengetahuan, dan ketika melangit ke
Arsy menjadi keabadian.
Lebak, 3
Oktober 2021
Maydearly