Perjalanan Hati, Refleksi Diri


 

Enam hari ini, saya tidak menerbitkan tulisan. Sementara di grup menulis, bartaburan tautan dari berbagai tantangan. Ada tantangan dari grup menulis Omjay di Gelombang 6, 7, 8 , 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, dan 17.  Apalagi jika bukan menulis resume dan memersiapkannya menjadi buku solo agar ... peserta yang ikut pelatihan berhak mendapat sertifikat yang dijanjikan.

PGRI dan KOGTIK pada bulan Februari bekerja sama dengan terbitkanbukugratis(dot)id menggelar lomba menulis di blog untuk dijadikan buku. Ratusan tulisan pun saya ketahui dari ratusan link blog pribadi yang diduplikasi pada blog Terbitkan Buku Gratis. Link blog itu bertaburan di grup-grup yang saya ikuti. Sesekali, bulu kuduk merinding. Betapa kreatifnya para penulis.

Cakrawala Blogger Guru Nasional (Lagerunal), sebagai komunitas baru tidak mau berhenti di tengah jalan. Tagar #KamisMenulis berjalan terus. Inovasi tema tiada henti, persis seperti tagline salah satu raksasa produsen kendaraan motor di tanah air. Sebagai anggota komunitas yang baik, saya pun harus ikut berpartisipasi. Tentu, seraya mengasah mengolah kata menjadi klaimat-kalimat bermakna yang terangkai dalam paragraf-paragraf yang berarti.

Beberapa bulan lalu, komunitas pendidik Indonesia, AISEI, pernah menggelar challenge agar guru "mau" menulis dengan menceritakan gambar sedikitnya seratus kata. Lalu meningkat menjadi minimal 150 kata. Kali ini Lagerunal pun tidak mau ketinggalan menggelar tantangan bermain kata melalui sebuah foto

 

Belum lagi ajakan menulis buku antologi, aha ... banyak sekali. Semua ingin diikuti, semua ingin ditaklukkan. Namun ternyata besar pasak daripada tiang. Alih-alin menyelesaikan itu semua, malah bagai bunga kembang tak jadi. Layu sebelum berkembang.

Alih-alih Menyegarkan Otak 

Untuk menyegarkan otak, saya pun membuka blog diksi yang sudah berulang kali berganti tema. Blog itu menjadi media komunikasi dengan peserta didik saya untuk belajar secara daring dalam pembelajaran jarak jauh. Rasa panasaran untuk "ngoprek" blog pun membawa saya untuk berselancar membaca berbagai artikel tentang blog. Mulai dari mengubah blogspot menjadi domain kustom dengan membeli domain tahunan pada salah satu penyedia jasa pembuatan website. Hingga akhirnya membaca artikel tentang bagaimana menautkan dengan akun adsense agar blog bisa menghasilkan rupiah dari iklan yang terpasang.

Nah, alih-alih menyegarkan otak, dengan berselancar itu saya bahkan menjadi "galau" sendiri bagai "ababil", bahasa gaul untuk ABG labil. Ha ha ... saya labil, yah? Boleh jadi. Akhirnya, saya mohon izin dengan teman-teman Lage (sebutan bagi anggota Lagerunal) untuk beristirahat, tidak berkomentar atau mengirimkan link tulisan untuk sementara.

Namun seperti pernah saya ceritakan bahwa blog tanpa tulisan itu sepi. Ya, sepi pengunjung. Itu seperti rumah megah namun tidak ada yang mau singgah. Hidup bertetangga terasa hambar. Bagi saya yang hidup di perdesaan, bertetangga dengan saling kunjung masih biasa. Saya pun tidak tahan. Ora kuwat ... kata orang Jawa. Tidak tahan hidup menyendiri dan menyepi, meskipun karena suatu alasan.

Sambil menepi saya pun melakukan refleksi. Semua tantangan seyogyanya ditaklukkan. Namun, jika kita tidak mampu menyelesaikan semua, maka menyelesaikan sebagian lebih baik dari pada tidak sama sekali. Bersilaturahim atau bentuk bakunya dalam KBBI, bersilaturahmi, lebih penting dari pada memaksakan diri mengikuti kompetisi sementara kita belum mampu menyelesaikan.

Menganalogikan Perjalanan Menulis dengan Telur, Sayuran, dan Talenan

Perjalanan menulis di penghujung Februari itu seperti saya ketika kecil ingin makan dengan lauk telur. Telur adalah makanan mewah bagi saya pada saat itu. Saat ketika televisi satu RT hanya ada dua. Setiap hari Minggu kami berjejal menumpang menonton di rumah tetangga untuk menikmati lagu-lagu di album minggu atau menonton tayangan Ria Jenaka. Ingin makan lauk telur namun emak belum punya uang untuk membelinya.

Akhirnya, panjangnya angan-angan ingin makan lauk telur yang tak kunjung kesampaian karena emak belum punya uang, saya harus rela makan dengan rebusan kacang panjang yang dipotong pendek-pendek. Kacang panjang rebus itu dicolet pada sambal terasi berteman potongan timun. Rasanya sangat sedap. Terbukti nasi di piring habis tidak tersisa. Sebagai kudapan, emak merebus jagung manis. Jagung itu pun tidak bisa saya makan sendiri. Saya harus berbagi dengan adik-adik yang mulai doyan makan. Jagung yang hanya sebatang tu pun emak potong-potong di atas talenan. Saat itu belum ada talenan plastik yang berwarna putih bersih. Bapak memotong papan dan memberinya "kaki". Bangku kecil itu pun menjadi talenan, tempat emak memotong-motong bermacam sayur dan buah-buahan.

Hasil Refleksi Diri

Seperti itulah keinginan saya saat ini. Meskipun belum bisa makan lauk telur (ini peristiwa masa kecil, ya bukan sekarang) saya harus puas makan dengan lauk rebusan kacang panjang dan irisan timun dicocol pada sambal. Saya pun harus puas mengudap jagung yang dipotong kecil-kecil di atas talenan.

Saya ingin dan sudah mencoba mengikuti lomba blog untuk menjadikannya menjadi buku, namun ternyata saya belum mampu.  Ternyata saya hampir lupa, bahwa ada draf yang belum terselesaikan akibat sibuk dalam hiruk pikuk bercengkerama di dunia maya. Saya masih memiliki "mahkota" yang belum kunjung diselesaikan. Sebuah pijar lentera yang bisa saja padam jika tidak saya selesaikan. Mungkin ini suatu kekalahan, tetapi saya harus memilih. Menyelesaikan salah satu tulisan menjadi buku atau tidak ada yang terselesaikan sama sekali.

 

 

Salam blogger sehat
PakDSus-Musi Rawas
https://blogsusanto.com/

 

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama